masih terlalu melek sastra sih waktu itu (waktu itu? kapan? sekarang juga masih samar-samar tuh. ... hehe.)
maklum aja ya, ni cerpen ditulis waktu kelas 6 sd tahun 2007 untuk diikutkan dalam ajang lomba cipta cerpen FAM indonesia, eh pas dikirim langsung dapat balasan dari panitia.
Gini nih isinya
Salam, mohon maaf naskah cerpen yang Anda kirim sudah melampaui batas waktu yang telah ditentukan. Terima Kasih.
Admin FAM.
nyesek banget kan.
hadeh, udah deh dibuang sayang . ini dia cerpen karya Rizal Efesus Jr 2007.
SEDIHKU BAHAGIAKU
Gadis putih
gemuk itu tertegun seketika ia menangis dan kadang menjerit seperti seorang
istri yang ditinggal pergi pasangannya. Di kerumunan orang banyak seperti ini,
suara tangisan sebegitu keras, pastinya masih kedengaran walau secuil. Sesekali
dia membentak spontan, tanpa ada yang melakukan aksi padanya. Tanpa berpikir
realistis, dia tidak peduli akan hipotesa-hipotesa yang dimuntahkan oleh
orang-orang yang disekitarnya. Ia menangis seakan-akan ada sesuatu yang telah
melumat keinginan dirinya. Ya ! seperti hatinya teriris iris oleh sayatan
belati yang tajam.
Tapi, tunggu
dulu. Jika aku melihat wajahnya yang tak berkomedo dan tak bernoda itu,
sepertinya aku pernah bertemu dengannya. Atau mungkin itu hanya perasaanku
saja. Tetapi, tidak. Ya, aku ingat sekarang, aku pernah bertemu dengannya.
Mengulang kembali pada hari-hari sebelumnya. Waktu itu, tepatnya hari rabu 3
hari yang lalu saat ujian penerimaan siswa baru di SMA ini. Aku ditempatkan
pada ruang 5 sebagai ruang ujianku. Dan gadis putih yang subur itu, tepat
berada di sebelah kanan mejaku. “ujian nggak ujian, tetap aja aku bisa masuk ke
sekolah ini, dan duduk di kelas favorit disekolah.” “loh, kenapa wi ?, yang
dinyatain masuk ke sekolah ini kan
hanya yang lulus seleksi ujian masuk.” “idih kayak kamu nggak tahu aja din,
papaku kan
punya duit banyak. So, kalau ntar nggak lolos seleksi ujian masuk kan bisa disogok pakai
duit.” Sekira begitulah dialog antara gadis putih yang disebut wi itu dengan
temannya sebelum ujian dimulai. Entah itu namanya dewi, tiwi, dwi atau siapapun
itu, aku tidak tahu. Bukannya karena sombong atau hal apapun. Tetapi, karena
aku melihat sepertinya gadis itu bukan orang yang bersahabat dan sombong.
Karena itu, aku tidak ingin terjadi sesuatu dampak jika aku menegurnya, lebih
baik diam bagiku waktu itu.
Sekolah ini,
merupakan sekolah favorit di kota
ini, bahkan namanya sudah dikenal di Nasional. Banyak orang yang mengejar untuk
menjejakkan kaki disekolah ini, terutama kaum elite. Adapun orang biasa dan
sederhana seperti aku yang bersekolah disini adalah karena beasiswa berprestasi
kurang mampu yang diberikan pemerintah. Karena itu, aku berharap untuk bisa
menjadi bagian dari sekolah ini, walau dengan perekonomian keluargaku yang
sangat tidak mencukupi. Begitu pun dengan gadis itu, dia sangat ingin untuk
menjadi tubuh dari sekolah ini.
Saat ku lihat
dari keseluruhan penampilannya, sepertinya dia memang orang berada yang serba
kecukupan. Dengan kulit putih yang tidak berbekas sedikitpun, sepatu booth
hitam yang bermerek kelas atas, dan gadget keluaran terbaru ditangannya. Setelah
aku mendengar banyak berita dan isu bersileweran, ternyata dia anak seorang
pejabat di suatu lembaga. Dalam hati aku bergumam “ terang saja dia berkata
seperti itu dengan mendulang gembira, karena dia buah hati seorang petinggi.”
Sepanjang hari
seleksi ujian, dia selalu berjalan berdampingan dan bergerombolan dengan kawan
– kawannya yang mungkin sudah dia kenal sejak lama. Mengeluarkan satu, dua,
tiga, hingga tak terhingga kata dari speaker berpagar putih miliknya. Yang
mungkin satu demi satu kata itu, jatuh tertinggal dan terpijak dilantai.
Mendeskripsikan harta dan kemewahan yang bukan miliknya, melainkan orang
tuanya.
Ya,
tak ayal lagi jika dialah gadis itu. Hari ini, aku melihat keceriaan dan
kegembiraan kemarin telah diterabas oleh kesedihan yang diakibatkan dirinya.
Tak terkira rasa
senang dalam diriku, saat melihat papan pengumuman hasil seleksi ujian masuk
yang sejak tadi ada di hadapanku. Ku lontarkan senyum bahagia dan sedih pada
ibu disampingku, dan beliau pun sama. Tetapi, di bagian hati lainnya, aku ikut
bersedih dan duka atas gadis itu. Dalam hati, aku kembali bergumam “ mungkin
Tuhan mempunyai jalan dan keindahan di lain waktu bagi dia”, sambil berjalan
menyusuri lorong menuju gerbang keluar dari suara bingar ditempat ini bersama
ibuku. Meninggalkan gadis yang bergelimangan air mata itu, bersama keinginan
dan hasrat duniawinya. Di sepanjang jalan menuju gerbang aku mendengar banyak
omongan dan sayup sayup dari orang-orang yang mana bahwa pihak sekolah tidak
menerima sogokan dalam bentuk apapun dan sebesar apapun nilainya. Mendengar
seruan itu, aku melemparkan sedikit senyum bangga kepada orang-orang
sekeliling, dan kepada sekolah ini. Dan aku berharap, semoga kebersihan dan pertolongan,
juga keselarasan dalam pendidikan dan sosial ini tetap mengalir di darah negeri
ini, sampai senja tak lagi menyinggahi bumi.